Indonesia – English
March 23,
2009
Seperti
biasa, sebagian wilayah Timika gelap total kena pemadaman bergilir. Sekali
padam tidak main-main, bisa sampai enam jam. Di wilayah yang terkena pemadaman,
warga Timika biasanya menghabiskan waktu dengan bercengkrama dengan teman atau
keluarga. Tapi di sebuah rumah di daerah Kwamki Baru yang juga terkena
pemadaman listrik, Suster Sisilia duduk disinari temaram cahaya lilin. Di
sekitarnya ada beberapa anak kecil berusia antara 5 – 10 tahun yang sibuk
dengan aktivitas mereka masing-masing. Sebenarnya anak-anak itu berkumpul untuk
belajar, tapi yah apa mau dikata, namanya juga anak-anak. Apalagi anak-anak
yang tidak pernah terbiasa duduk belajar di dalam ruangan. Jalanan gelap kota
Timika jauh lebih menarik daripada buku cerita yang dibacakan Suster Sisilia.
Tapi toh
keadaan itu tidak membuat Suster Sisilia patah semangat. Dia tetap berusaha
keras mendidik anak-anak suku Amungme dan Kamoro yang banyak berkeliaran di
jalanan dan sudut-sudut kota Timika.
Perjalanan Suster Sisilia dimulai pada tahun 2005. Saat itu setiap jam empat sore hingga enam sore setiap hari, Suster Sisilia menyempatkan diri berjalan mengelilingi kota Timika. Setiap hari dia bertemu dengan anak-anak suku Amungme dan Kamoro yang tidak sekolah dan berkeliaran di jalanan Timika. Kebanyakan bekerja sebagai pemulung.
Perjalanan Suster Sisilia dimulai pada tahun 2005. Saat itu setiap jam empat sore hingga enam sore setiap hari, Suster Sisilia menyempatkan diri berjalan mengelilingi kota Timika. Setiap hari dia bertemu dengan anak-anak suku Amungme dan Kamoro yang tidak sekolah dan berkeliaran di jalanan Timika. Kebanyakan bekerja sebagai pemulung.
“Lingkungan di Timika berpengaruh besar bagi mereka, anak-anak itu gampang tertular kebiasaan mabuk,” kata Suster Sisilia. Hal itulah yang mendorong Suster Sisilia mengirimkan anak-anak suku Amungme dan Kamoro untuk melanjutkan pendidikan ke luar Timika, seperti ke Nabire, Merauke, bahkan hingga ke Malang. Biaya pendidikan dinegosiasikan dengan lembaga studi tempat Suster mengirimkan anak-anak.
Usaha keras
Suster Sisilia membuat banyak lembaga studi yang mau mendidik anak-anak Amungme
dan Kamoro tanpa biaya. Sekalipun demikian, Suster yang tergabung di kongregasi
Alma ini tidak mau orang tua jadi lupa dengan anak-anak mereka. Setiap bulan
para orang tua menyisihkan penghasilan mereka dari jualan sayur di pasar untuk
kemudian dikirimkan ke anak-anak mereka. “Sekalipun tidak banyak tidak masalah,
supaya mereka merasa terlibat dan anak-anak masih memiliki ikatan dengan orang
tua,” kata Suster Sisilia yang kini sudah melepaskan diri dari kongregasi Alma.
Suster
Sisilia percaya bahwa mendidik anak-anak yang masih dalam tingkat pendidikan
dasar akan lebih mudah dan lebih penting daripada mendidik mereka yang sudah
beranjak remaja. Ibarat pohon, “anak-anak itu masih bisa dibengkokkan dan
dibentuk, kalau yang sudah remaja itu susah sekali,” menurut Suster Sisilia.
Kerja keras
Suster Sisilia ini mengingatkan saya pada kisah saudara kembar Ibu Sri Rosianti
dan Ibu Sri Rianti yang mendirikan Sekolah Darurat Kartini di Jakarta. Para
siswa yang belajar di Sekolah Darurat Kartini adalah anak pedagang asongan,
pemulung, dan tukang ojek. Sekolah dibuka sejak pukul 07.00 hingga pukul 10.00
untuk murid Taman Kanak-kanak. Sedangkan dari pagi hingga siang hari, waktunya
bagi para murid SD, SMP, dan SMA untuk belajar pengetahuan umum. Setelah itu
mereka belajar berbagai macam ketrampilan seperti menyulam, bengkel, dan
memasak. Dengan demikian diharapkan selain memiliki bekal akademik, anak-anak
juga memiliki keahlian pendukung. Selain kerap menyambangi lima sekolah dan
mengajar, Ibu Sri Rosianti dan Ibu Sri Rianti merogoh kocek pribadi mereka
untuk membiayai sekolah darurat yang mereka dirikan.
Kehadiran
sekolah yang modal awalnya hanya puluhan buku bacaan itu tentu saja mendapat
respon positif dari masyarakat. Kini sudah ada lima Sekolah Darurat di Jakarta
yang didirikan Ibu Sri Rosianti dan Ibu Sri Rianti. Sayangnya pada bulan
Agustus 2008 lalu Sekolah Darurat Kartini di bawah jembatan tol Penjaringan,
Jakarta, yang menampung 420 anak hancur terbakar, bersama dengan ratusan gubuk
di bawah jembatan tol Penjaringan. Pemerintah kota Jakarta Utara melarang warga
untuk tinggal di tempat itu lagi.
Karena
beberapa hal, Suster Sisilia kini sendiri juga tidak lagi mendidik dan
mengirimkan anak-anak Mimika belajar di luar Mimika. Suster Sisilia kini aktif
di YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan). Kami mengakhiri
pembicaraan dengan canggung. Saya tidak sempat bertanya lebih jauh, seperti
misalnya apakah sekarang dia masih meluangkan waktunya mengajar anak-anak atau
apakah dia masih menjalin komunikasi dengan anak-anak yang pernah dikirimnya.
Sebagian
dari kita mungkin memiliki catatan tersendiri atas pribadi Suster Sisilia.
Demikian juga di Jakarta sana, beberapa orang mungkin memiliki pandangan yang
berbeda atas kerja keras Bu Sri Rosianti dan Sri Rianti. Tapi sungguh, tidak
mudah menemukan orang seperti Suster Sisilia atau ibu Sri Rosianti dan Sri
Rianti.
Tidak mudah juga bagi kita membuka hati bagi pribadi-pribadi luar biasa yang mendedikasikan dirinya bagi pendidikan di Mimika saat ini, para orang muda yang didatangkan Keuskupan Timika dan bertugas di pedalaman Mimika, seperti di Atuka, Amar, hingga Potowayburu. Jauh dari berbagai kesenangan dan kemudahan yang seolah sudah melekat di generasi kini. Jangankan di pedalaman Papua, bukan hal mudah menemukan orang yang mau menjadi guru di pelosok Jawa.
Tidak mudah juga bagi kita membuka hati bagi pribadi-pribadi luar biasa yang mendedikasikan dirinya bagi pendidikan di Mimika saat ini, para orang muda yang didatangkan Keuskupan Timika dan bertugas di pedalaman Mimika, seperti di Atuka, Amar, hingga Potowayburu. Jauh dari berbagai kesenangan dan kemudahan yang seolah sudah melekat di generasi kini. Jangankan di pedalaman Papua, bukan hal mudah menemukan orang yang mau menjadi guru di pelosok Jawa.
Dalam
perjalanan ke Atuka beberapa waktu lalu, saya terduduk di dalam kapal. Karena
lelah saya lebih banyak merebahkan diri di atas tumpukan barang. Perjalanan
malam membuat hutan di sepanjang sungai Wania seolah memiliki jiwa sebagaimana
layaknya manusia.
Saya tidak
mengharapkan pemandangan indah, bisa melamun dan merokok dengan enak tanpa
terganggu suara mesin saja sudah sangat cukup. Tapi mendadak saya mendapati
sebuah pemandangan menakjubkan; sebuah pohon yang dikerumuni ratusan kunang-kunang.
Belum habis ketakjuban saya, tidak lama berselang kembali nampak sebuah pohon
yang menjadi panggung tarian ratusan kunang-kunang.
Kegelapan
nyatanya bukanlah sebuah titik akhir, tapi masa penantian akan terang dan
pengujian kekuatan harapan kemanusiaan kita. Sekalipun banyak sekali gedung
sekolah yang berada dalam kondisi memprihatinkan di daerah pantai, ada secercah
harapan yang datang dari wajah anak-anak Mimika yang berangkat sekolah dengan
seragam dan buku seadanya serta dari para guru kontrak Keuskupan Timika.
Bagi kita
para penumpang “kapal besar” LPMAK yang sedang mengarungi kegelapan kondisi
pendidikan di Mimika ini, sudah seharusnya kita memperhatikan dan belajar dari
cahaya-cahaya kecil di luar sana, dari para individu luar biasa yang bekerja dengan
segala keterbatasan mereka. Terlebih jika kita memang serius memperhatikan
perkembangan pendidikan dasar di Mimika. ***
(sumber: google/pendidikan anak di daerah pedalaman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar