Kamis, 10 November 2011

Potret Pendidikan di Propinsi Terkorup di Indonesia


 Ditengah upaya pemerintah pusat dan daerah menggalakkan sektor pendidikan khususnya sekolah dasar dengan berbagai program, ternyata tanpa sengaja saya mendapatkan masih ada anak sekolah dasar bersekolah belum menggunakan bangunan permanen seperti halnya sekolah-sekolah dasar lainnya yang ada di daerah. Mereka melakukan proses belajar mengajar dibawah kolong rumah. Yang lebih menyedihkan lagi ketika saya masuk ke dalam sekolah tersebut, anak-anak sekolah yang tengah belajar bercampur dengan beberapa ekor ayam yang ada dalam ruang sekolah tersebut.

Sebuah realitas dalam potret pendidikan kita ini saya temui di Dusun Arungkeke, Desa Bellapunranga, Kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa yang jaraknya sekitar 43 km dari Kota Makassar.
Fitriani, A.Md salah seorang guru dengan status honorer ketika ditemui saat melakukan proses belajar mangajar di sekolah itu mengatakan“Sekolah ini adalah sekolah jarak jauh kelas 1 (satu) dengan sekolah induknya berada 5 km dari dusun ini”, anak-anak di desa ini masih kecil-kecil dan belum mampu berjalan dan menyeberangi sungai dengan jarak 5 km menuju sekolah induk yang berada di desa seberang sana”, makanya aparat Desa melakukan inisiasi mendirikan sekolah jarak jauh seperti yang ada sekarang ini”, jelas Fitriani.
“Jumlah murid kelas satu yang ada di Sekolah Dasar jarak jauh di dusun Arungkeke ini berjumlah 14 orang”, dengan tingkat minat murid dalam mengikuti pelajaran sangat tinggi”, tambah Fitriani.
Namun ketika saya menanyakan kepada Ibu Fitriani, apakah pimpinan sekolah dalam hal ini kepala sekolah SD ini biasa melakukan kunjungan ke sekolah ini?”.
Ibu Fitriani menjawab, sejak sekolah ini berdiri 6 bulan yang lalu, belum pernah sama sekali Ibu Kepala sekolah melakukan kunjungan ke sekolah ini”. Ditambahkan,” Gaji honor saya sejak 6 bulan lalu sejak mulai mengajar hingga sekarang belum pernah saya terima”. Imbuh Ftriani.
Sungguh ironis ! ketika melihat realitas ini. Sebuah potret pendidikan di Negara yang telah merdeka 64 tahun yang lalu.
Melihat realitas sektor pendidikan seperti itu, saya selaku Ketua DPD Gerakan Anak Indonesia Bersatu (GAIB) Sulawesi Selatan menghimbau kepada pemerintah baik pusat maupun daerah untuk segera mencari solusi tersebut agar tidak lagi ada pemandangan yang sangat menyedihkan sekaligus memprihatinkan di sektor pendidikan ini. Untuk itu perlu segera diselesaikan, perlu adanya koordinasi terpadu dari berbagai elemen dalam melihat masih adanya masyarakat yang belum menikmati pendidikan dengan layak. “Sekali lagi sungguh ironis !”, begitu banyak anggaran baik dari pusat maupun di daerah yang telah dianggarkan dan dialokasikan di sektor pendidikan di tanah air namun anehnya masih ada saja anak yang bersekolah dalam kondisi seperti ini”, apakah ini sebagai indikasi Sulsel sebagai negera terkorup di Indonesia?”, tegas Imansyah Rukka.

(sumber:http://pendidikan daerah terpencil)

Pendidikan Dasar di Mimika


Indonesia – English
March 23, 2009
Seperti biasa, sebagian wilayah Timika gelap total kena pemadaman bergilir. Sekali padam tidak main-main, bisa sampai enam jam. Di wilayah yang terkena pemadaman, warga Timika biasanya menghabiskan waktu dengan bercengkrama dengan teman atau keluarga. Tapi di sebuah rumah di daerah Kwamki Baru yang juga terkena pemadaman listrik, Suster Sisilia duduk disinari temaram cahaya lilin. Di sekitarnya ada beberapa anak kecil berusia antara 5 – 10 tahun yang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Sebenarnya anak-anak itu berkumpul untuk belajar, tapi yah apa mau dikata, namanya juga anak-anak. Apalagi anak-anak yang tidak pernah terbiasa duduk belajar di dalam ruangan. Jalanan gelap kota Timika jauh lebih menarik daripada buku cerita yang dibacakan Suster Sisilia.
Tapi toh keadaan itu tidak membuat Suster Sisilia patah semangat. Dia tetap berusaha keras mendidik anak-anak suku Amungme dan Kamoro yang banyak berkeliaran di jalanan dan sudut-sudut kota Timika.
Perjalanan Suster Sisilia dimulai pada tahun 2005. Saat itu setiap jam empat sore hingga enam sore setiap hari, Suster Sisilia menyempatkan diri berjalan mengelilingi kota Timika. Setiap hari dia bertemu dengan anak-anak suku Amungme dan Kamoro yang tidak sekolah dan berkeliaran di jalanan Timika. Kebanyakan bekerja sebagai pemulung.

“Lingkungan di Timika berpengaruh besar bagi mereka, anak-anak itu gampang tertular kebiasaan mabuk,” kata Suster Sisilia. Hal itulah yang mendorong Suster Sisilia mengirimkan anak-anak suku Amungme dan Kamoro untuk melanjutkan pendidikan ke luar Timika, seperti ke Nabire, Merauke, bahkan hingga ke Malang. Biaya pendidikan dinegosiasikan dengan lembaga studi tempat Suster mengirimkan anak-anak.

Usaha keras Suster Sisilia membuat banyak lembaga studi yang mau mendidik anak-anak Amungme dan Kamoro tanpa biaya. Sekalipun demikian, Suster yang tergabung di kongregasi Alma ini tidak mau orang tua jadi lupa dengan anak-anak mereka. Setiap bulan para orang tua menyisihkan penghasilan mereka dari jualan sayur di pasar untuk kemudian dikirimkan ke anak-anak mereka. “Sekalipun tidak banyak tidak masalah, supaya mereka merasa terlibat dan anak-anak masih memiliki ikatan dengan orang tua,” kata Suster Sisilia yang kini sudah melepaskan diri dari kongregasi Alma.
Suster Sisilia percaya bahwa mendidik anak-anak yang masih dalam tingkat pendidikan dasar akan lebih mudah dan lebih penting daripada mendidik mereka yang sudah beranjak remaja. Ibarat pohon, “anak-anak itu masih bisa dibengkokkan dan dibentuk, kalau yang sudah remaja itu susah sekali,” menurut Suster Sisilia.
Kerja keras Suster Sisilia ini mengingatkan saya pada kisah saudara kembar Ibu Sri Rosianti dan Ibu Sri Rianti yang mendirikan Sekolah Darurat Kartini di Jakarta. Para siswa yang belajar di Sekolah Darurat Kartini adalah anak pedagang asongan, pemulung, dan tukang ojek. Sekolah dibuka sejak pukul 07.00 hingga pukul 10.00 untuk murid Taman Kanak-kanak. Sedangkan dari pagi hingga siang hari, waktunya bagi para murid SD, SMP, dan SMA untuk belajar pengetahuan umum. Setelah itu mereka belajar berbagai macam ketrampilan seperti menyulam, bengkel, dan memasak. Dengan demikian diharapkan selain memiliki bekal akademik, anak-anak juga memiliki keahlian pendukung. Selain kerap menyambangi lima sekolah dan mengajar, Ibu Sri Rosianti dan Ibu Sri Rianti merogoh kocek pribadi mereka untuk membiayai sekolah darurat yang mereka dirikan.
Kehadiran sekolah yang modal awalnya hanya puluhan buku bacaan itu tentu saja mendapat respon positif dari masyarakat. Kini sudah ada lima Sekolah Darurat di Jakarta yang didirikan Ibu Sri Rosianti dan Ibu Sri Rianti. Sayangnya pada bulan Agustus 2008 lalu Sekolah Darurat Kartini di bawah jembatan tol Penjaringan, Jakarta, yang menampung 420 anak hancur terbakar, bersama dengan ratusan gubuk di bawah jembatan tol Penjaringan. Pemerintah kota Jakarta Utara melarang warga untuk tinggal di tempat itu lagi.
Karena beberapa hal, Suster Sisilia kini sendiri juga tidak lagi mendidik dan mengirimkan anak-anak Mimika belajar di luar Mimika. Suster Sisilia kini aktif di YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan). Kami mengakhiri pembicaraan dengan canggung. Saya tidak sempat bertanya lebih jauh, seperti misalnya apakah sekarang dia masih meluangkan waktunya mengajar anak-anak atau apakah dia masih menjalin komunikasi dengan anak-anak yang pernah dikirimnya.
Sebagian dari kita mungkin memiliki catatan tersendiri atas pribadi Suster Sisilia. Demikian juga di Jakarta sana, beberapa orang mungkin memiliki pandangan yang berbeda atas kerja keras Bu Sri Rosianti dan Sri Rianti. Tapi sungguh, tidak mudah menemukan orang seperti Suster Sisilia atau ibu Sri Rosianti dan Sri Rianti.
Tidak mudah juga bagi kita membuka hati bagi pribadi-pribadi luar biasa yang mendedikasikan dirinya bagi pendidikan di Mimika saat ini, para orang muda yang didatangkan Keuskupan Timika dan bertugas di pedalaman Mimika, seperti di Atuka, Amar, hingga Potowayburu. Jauh dari berbagai kesenangan dan kemudahan yang seolah sudah melekat di generasi kini. Jangankan di pedalaman Papua, bukan hal mudah menemukan orang yang mau menjadi guru di pelosok Jawa.
Dalam perjalanan ke Atuka beberapa waktu lalu, saya terduduk di dalam kapal. Karena lelah saya lebih banyak merebahkan diri di atas tumpukan barang. Perjalanan malam membuat hutan di sepanjang sungai Wania seolah memiliki jiwa sebagaimana layaknya manusia.
Saya tidak mengharapkan pemandangan indah, bisa melamun dan merokok dengan enak tanpa terganggu suara mesin saja sudah sangat cukup. Tapi mendadak saya mendapati sebuah pemandangan menakjubkan; sebuah pohon yang dikerumuni ratusan kunang-kunang. Belum habis ketakjuban saya, tidak lama berselang kembali nampak sebuah pohon yang menjadi panggung tarian ratusan kunang-kunang.
Kegelapan nyatanya bukanlah sebuah titik akhir, tapi masa penantian akan terang dan pengujian kekuatan harapan kemanusiaan kita. Sekalipun banyak sekali gedung sekolah yang berada dalam kondisi memprihatinkan di daerah pantai, ada secercah harapan yang datang dari wajah anak-anak Mimika yang berangkat sekolah dengan seragam dan buku seadanya serta dari para guru kontrak Keuskupan Timika.
Bagi kita para penumpang “kapal besar” LPMAK yang sedang mengarungi kegelapan kondisi pendidikan di Mimika ini, sudah seharusnya kita memperhatikan dan belajar dari cahaya-cahaya kecil di luar sana, dari para individu luar biasa yang bekerja dengan segala keterbatasan mereka. Terlebih jika kita memang serius memperhatikan perkembangan pendidikan dasar di Mimika. ***

                                                              (sumber: google/pendidikan anak di daerah pedalaman)


pendidikan daerah terpencil/tertinggal


Pendidikan adalah (seharusnya) menjadi skala prioritas bagi agenda pembangunan pemerintah daerah. Akselerasi pembangunan pendidikan yang sedang dilaksanakan saat ini merupakan bagian dari upaya perbaikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Melalui percepatan pembangunan pendidikan yang menyentuh segala aspek dan dinamika pendidikan diharapkan akan mampu mengangkat kualitas pendidikan di daerah. Sehingga dengan sendirinya akan terjadi agregasi positif terhadap kondisi kualitas pendidikan secara nasional.
Pembangunan pendidikan di daerah harus bersifat adil, partisipatif dan terintegrasi, sehingga kesenjangan mutu yang ada saat ini dapat diatasi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Aneka kebijakan dan program kerja yang telah dan sedang diluncurkan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, semuanya itu bermuara pada upaya pencapaian tingkat kualitas pendidikan. Walaupun di satu sisi, untuk mengatasi ketertinggalan mutu pendidikan suatu daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah itu sendiri, namun pemerintah pusat lebih berperan untuk melakukan fasilitasi dan koordinasi.
Dapat dipahami bahwa kondisi geografis ternyata menjadi salah satu penghambat ketercapaian akses dan pemerataan pendidikan. Kesenjangan akses pendidikan antara desa dan kota atau daerah terpencil dengan daerah perkotaan merupakan salah satu penyebab tidak meratanya mutu pendidikan. Guru yang tinggal di daerah perkotaan mendapat akses yang lebih baik terhadap hal-hal yang berhubungan dengan peningkatan mutu guru seperti informasi dan fasilitasi pendidikan, sementara guru di pedalaman atau bahkan di daerah terpencil tidak seberuntung itu.
Ditambah lagi rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan yang berakibat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di daerah turut menjadi faktor penyebab ketimpangan mutu. Disamping adanya keterbatasan prasarana dan sarana yang menyebabkan masyarakat pendidikan kesulitan untuk melakukan aktifitas pendidikan.

http://www.swarapendidikan.com/artikel-pendidikan/garap-pendidikan-daerah-terpenciltertinggal.html